Sabtu, 24 November 2007

Pendidikan itu Hak, bukan Kewajiban !

Diantara perdebatan tentang sebuah moral di negeri ini, ada hal yang hingga saat ini hanya pada tingkat wacana, yakni PENDIDIKAN GRATIS BERKUALITAS. Walau sudah diamanatkan dalam UUD RI bahwa Pemerintah harus melakukan upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan melakukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan, namun hingga saat ini masih sangat sedikit dukungan nyata pemerintah yang diberikan, baik dalam hal kebijakan maupun pendanaan.

Semakin seringnya guru bantu melakukan aksi agar dapat tetap bekerja sebagai guru, semakin banyaknya tayangan sekolah rusak dalam berbagai media, hingga bermunculannya gejala magis di beberapa sekolah dalam bulan terakhir, memperkuat penggejalaan bahwa pendidikan ternyata masih diabaikan.

Pendidikan itu Bisnis!

Saat ini, baik sekolah negeri (yang harusnya didanai oleh pemerintah) maupun sekolah swasta, bahkan hingga ke tingkat perguruan tinggi dan lembaga pendidikan non-formal, telah menawarkan kualitas pendidikan dengan disetarakan pada biaya pendidikan. Untuk sebuah sekolah plus setingkat SLTP saja, tidak kurang dibutuhkan biaya setara dengan pendidikan S2 di perguruan tinggi negeri.

Di sekolah negeri, dengan dalih ketiadaan biaya, semakin banyak gedung-gedung sekolah yang dibiarkan rubuh. Juga ketika angka ketidaklulusan semakin tinggi disaat ujian nasional, maka ketiadaan fasilitas pembelajaran menjadi sebuah alasan berulang.

Berbeda pada perguruan tinggi negeri, di saat pergeseran kebijakan perguruan tinggi yang akan mem-badan hukum milik negara-kan, menjadikan komersialisasi pendidikan semakin meningkat. Kualitas pendidik dan kurikulum pendidikan tidak pernah lagi terperhatikan. Malah semakin meningkat penggejalaan sebuah perguruan tinggi menjadi sebuah super mall yang menyediakan beragam gelar kesarjanaan maupun gelar magister.

Pendidikan Berkualitas itu Tidak Penting!

Arah pendidikan saat ini, sebagian besarnya menjerumuskan beragam sumberdaya manusia negeri ini ke arah penyeragaman dan menjadikan robot. Lingkar-lingkar kreatifitas dan daya pikir kritis telah dimatikan secara struktural. Kurikulum pendidikan dibuat untuk pemenuhan lapangan pekerjaan, yang sebagiannya adalah bernuansa penggerusan kekayaan alam.

Bidang-bidang pendidikan yang dipandang tidak lagi memiliki prospek pekerjaan semakin dijauhi. Keterampilan spesialis dan teknis menjadi sebuah primadona baru dalam dunia pendidikan saat ini. Keterampilan generalis dan kepemimpinan mulai termatikan di pendidikan formal, malah saat ini dikuasai oleh pelaksana pendidikan non-formal, yang sudah tentu tidak dengan biaya murah.

Kurikulum sebagai urat nadi kualitas lulusan sekolah maupun perguruan tinggi, sangat cepat berganti tanpa pernah dilakukan evaluasi menyeluruh berkaitan dengan kualitas yang dihasilkan. Kurikulum hanya sebuah efek mekanis yang akan menghasilkan otak mampu dikontrol dari satu titik, tanpa memberikan ruang berkembangnya kemampuan berpikir. Hanya 1% bagian otak yang digunakan dalam proses belajar di sekolah maupun di perguruan tinggi di Indonesia saat ini.


Pendidikan itu Kewajiban: Awal Kehancuran!

Penggiringan pendidikan anak negeri ke jurang kehancuran bermula pada meletakkan pendidikan sebagai sebuah kewajiban, sehingga tertancapkanlah pemikiran di seluruh keluarga di negeri ini bahwa pendidikan itu wajib. Dengan semakin banyaknya pihak yang berkewajiban menjalani proses pendidikan formal, maka ini menjadikan pendidikan sebagai sebuah arena bisnis. Bila saja penyedia jasa pendidikan semakin sedikit, maka penyedia jasa pendidikan dapat dengan berdasarkan keinginan sendiri untuk menentukan besarnya imbal jasa yang diberikan. Inilah awal sebuah bisnis pendidikan yang menjadikan pendidikan itu mahal.

Program wajib belajar 9 tahun pun menjadikan wilayah pendidikan dipaksakan ada, tanpa pernah memandang kualitas. Pendidikan pun kemudian dipandang sebagai sebuah kerangkeng baru bagi anak-anak, dikarenakan pola-pola pengajaran menjadi diseragamkan sepanjang kepulauan Nusantara ini. Pengembangan kurikulum dan pola pembelajaran kelokalan menjadi sangat sukar berkembang.

Kualitas pengajar pun dipaksakan untuk meningkat dengan sebuah kewajiban gelar kesarjanaan untuk mengajar. Padahal tidak ada hubungan yang erat antara gelar kesarjanaan dengan kualitas pengajar. Kualitas pengajar hanya akan bisa dihasilkan dari sebuah proses pembelajaran kritis dan kreatif para pengajar saat melakukan interaksi dengan siswa dan alam sekitarnya.

Pendidikan itu Hak!

Pendidikan adalah hak. Negara, dalam hal ini pemerintah, berkewajiban untuk memenuhkan hak dari setiap anak di negeri ini. Meletakkan pendidikan sebagai hak, memberikan sebuah beban bagi pemerintah untuk memberikan yang terbaik bagi penerima hak. Kualitas pendidikan, bukan hanya kuantitasnya, wajib dipenuhi oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara.

Meletakkan pendidikan sebagai sebuah hak, ini juga memposisikan pendidikan sebagai sebuah kebutuhan bersama. Pendidikan bukan menjadi sebuah perdagangan jasa, namun menjadi sebuah solidaritas pemenuhan hak berkehidupan. Pemerintah sudah saatnya mengembalikan roh pendidikan pada wilayah asasi manusia. Pengaturan terhadap pengembangan bisnis pendidikan, penguatan kualitas lembaga pendidikan formal, serta membuka peluang keberagaman kurikulum menjadi mendesak untuk dilaksanakan.

Pendidikan sebagai sebuah hak, juga harus ditempatkan pada kebebasan berekspresi bagi anak dalam menjalani proses pendidikan. Tidak memisahkan dunia anak pada sebuah kotak tertutup bernama sekolah, serta menjadikan alam sekitar sebagai wahana pendidikan, merupakan sebuah hal yang menarik untuk terus dikembangkan.

Program-program Bantuan Operasional Sekolah, Komite Sekolah, hingga Kurikulum Berbasis Kompetensi, harus diperbaiki dengan mengedepankan komitmen baru, bahwa pendidikan adalah hak, bukan kewajiban. Skema ujian nasional pun harus diberangus agar para pendidik di berbagai wilayah negeri tidak berlomba melakukan penipuan berkelanjutan. Tumbuhkan kebersamaan membangun generasi negeri dengan menyatakan ?PENDIDIKAN ITU HAK?. [060608